IPK: Mitos atau Realitas?
SEJAK lama, banyak pihak menanyakan kepada penulis, baik secara langsung maupun tidak langsung persoalan “Indeks Prestasi Kumulatif”, disingkat IPK.
IPK adalah hasil penilaian capaian pembelajaran lulusan pada akhir program studi yang dinyatakan dalam besaran yang dihitung dengan cara menjumlahkan perkalian antara nilai huruf setiap mata kuliah yang ditempuh dan sks mata kuliah bersangkutan dibagi dengan jumlah sks mata kuliah yang diambil yang telah ditempuh.
Mahasiswa program diploma dan program sarjana dinyatakan lulus apabila telah menempuh seluruh beban belajar yang ditetapkan dan memperoleh IPK lebih besar atau sama dengan 2,00 (dua koma nol).
Selanjutnya, mahasiswa program diploma dan program sarjana dinyatakan lulus predikat memuaskan, apabila mencapai IPK 2,76 sampai dengan 3,00. Sedangkan mahasiswa program profesi, magister, doktor mencapai IPK 3,00 sampai dengan 3,50. Selanjutnya mahasiswa program diploma dan program sarjana dinyatakan lulus predikat sangat memuaskan, apabila mencapai IPK 3,01 sampai dengan 3,50. Sedangkan mahasiswa program profesi, magister, dan doktor mencapai IPK 3,51 sampai dengan 3,75. Dan mahasiswa program diploma dan program sarjana dinyatakan lulus predikat pujian, apabila mencapai IPK lebih dari 3,50. Sedangkan mahasiswa program profesi, magister, doktor mencapai IPK 3,75.
IPK tersebut digunakan untuk berbagai kepentingan, antara lain: (1) keberlanjutan studi mahasiswa. Mahasiswa yang tidak mencapai IPK 2,00 saat dilakukan evaluasi semester empat dan semester delapan, maka mahasiswa tersebut terancam drop out (DO), (2) memperoleh kesempatan untuk mengikuti mata kuliah pada semester berikutnya, dan melanjutkan studi ke jenjang yang lebih tinggi, misalnya melanjutkan studi dari jenjang S1 ke jenjang S2; (3) kesempatan memperoleh beasiswa; (4) untuk fakultas tertentu, IPK merupakan persyaratan menjadi pengurus organisasi kemahasiswaan; (5) persyaratan mengikuti seleksi pegawai negeri, baik Pegawai Negeri Sipil (PNS), Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Swasta, TNI dan Kepolisian.
Uraian di atas menjelaskan bahwa peran IPK sangat menentukan bagi setiap lulusan dalam keberlanjutan studi, memperoleh pekerjaan dan mengembangkan kariernya. Sementara, proses memperoleh atau mencapai IPK sering kali dipertanyakan oleh banyak pihak terutama para mahasiswa dari sejak dulu hingga sekarang yang bermuara pada sebuah pertanyaan utama, apakah “IPK: Mitos atau Realitas”.
Mitos adalah sebuah keyakinan yang tidak akurat dan bahkan salah atau palsu, namun ia dipercaya memberikan pengaruh yang sangat kuat terhadap segala upaya manusia mencapai tujuan yang diinginkannya.
Mitos atau keyakinan palsu ini telah merasuk ke dalam pikiran, hati dan tindakan umat manusia dari dulu hingga sekarang ini. Dunia pendidikan, termasuk pendidikan tinggi tidak terbebaskan dari mitos tersebut, seperti kepercayaan terhadap IPK.
IPK sebagai hasil penilaian capaian pembelajaran lulusan pada akhir program studi telah diatur dan menjadi pedoman akademik di setiap perguruan tinggi. Namun faktanya, penilaian yang dilakukan dalam proses pembelajaran yang akhirnya menghasilkan IPK tersebut adalah unsur yang paling lemah dalam proses perkuliahan. Perencanaan dan pelaksanaan perkuliahan telah berjalan efektif, namun sering kali tidak diikuti efektifitas penilaian. Sekalipun peraturan, pedoman dan standar operasional prosedur (SOP) akademik sudah dibuat untuk diikuti. Namun dalam prakteknya cara penilaian dalam proses perkuliahan dilakukan tidak sama. Jangankan antar perguruan tinggi, antar fakultas, dan antar program studi. Antara satu dosen dengan dosen lainnya di satu program studi seringkali ditemukan cara penilaian yang berbeda. Ada dosen yang pelit dalam memberikan penilaian, sebaliknya ada pula dosen yang suka mengobral nilai, terutama dosen yang malas melaksanakan tugas mengajarnya sebagai modus menutup kekurangannya atau menghindari dirinya dari kritik atau protes mahasiswanya, dan tidak jarang penilaian dipengaruhi oleh “hello effect” atau persepsi keliru dosen terhadap mahasiswanya, misalnya jika seorang dosen awalnya sudah senang dan berpikir positif terhadap mahasiswanya, maka mahasiswa tersebut selalu positif dalam pikiran dan keyakinannya, demikian sebaliknya.
Contoh lain, dampak dari peran IPK bagi kemudahan para alumni perguruan tinggi (sarjana, magister dan doktor) dalam mengembangkan studi lanjut dan kariernya, maka sering kali ketentuan dan aturan yang telah dibuat pemerintah untuk mengefektifkan proses perkuliahan dan meningkatkan mutu lulusan disalahgunakan. Semester pendek yang dimaksudkan untuk mencapai ketuntasan pembelajaran akibat perkuliahan berjalan kurang efektif sering kali justru dimanfaatkan oleh mahasiswa/i berburu IPK, seakan-akan program semester pendek tersebut adalah jalur cepat dan pasti dalam mengejar atau meningkatkan IPK.
Tentu saja ketidakefektifan perkuliahan sehingga harus disempurnakan melalui semester pendek disebabkan oleh banyak faktor, baik mahasiswa, dosen, dan sumber daya pembelajaran lainnya seperti sarana dan prasarana dan waktu yang disediakan untuk perkuliahan tersebut masih sangat kurang. Sehubungan fenomena ketidaktuntasan belajar akibat kekurangan waktu (learning hour) dalam proses perkuliahan, Ibu Illah saat menjabat sebagai Direktur Pembelajaran Dikti Kemendikbud mengusulkan penambahan jam perkuliahan dengan sendirinya menambah jumlah sks untuk setiap mata kuliah. Namun usul tersebut hingga saat ini belum terealisasikan.
Selama IPK masih dilematik antara mitos dan realitas, maka: (1) usaha meningkatkan efektifitas proses perkuliahan, seperti kontrol kualitas pembelajaran di perguruan tinggi harus terjaga dengan baik dan berjalan efektif; (2) jikapun IPK menjadi persyaratan dalam rekrutmen, maka cukup sebatas persyaratan administratif semata, kemudian kelulusan mereka disempurnakan melalui seleksi yang lebih objektif, transparan dan akuntabel (Penulis: Aswandi – Dosen FKIP Untan)